Peran Musik dalam Kafe: Antara Selera dan Regulasi
Saya seorang yang tidak terlalu memperhatikan apakah sebuah kafe menyediakan musik atau tidak saat berkunjung. Namun, saya tetap suka musik. Jika ada, saya akan menikmatinya; jika tidak, saya akan menikmati suasana yang ada. Apalagi jika makanannya enak, minumannya lezat, atau kopinya menggugah selera, itu bisa menjadi pengalih perhatian yang cukup efektif.
Namun, tidak semua orang memiliki pandangan seperti saya. Banyak orang merasa bahwa kafe tanpa musik kurang menarik. Mereka menganggap kafe sebagai bagian dari gaya hidup urban yang lebih dari sekadar tempat ngopi. Dalam perspektif ini, musik dianggap sebagai elemen penting dalam branding pengalaman pengunjung.
Di sisi lain, ada juga yang merasa musik justru mengganggu. Terutama bagi mereka yang sedang bekerja atau rapat virtual, atau mereka yang membutuhkan privasi untuk menyelesaikan tugas kuliah. Karena alasan tersebut, muncul konsep kafe hening atau co-working caf yang menawarkan suasana tenang.
Dalam beberapa tahun terakhir, kafe bukan lagi hanya sekadar tempat minum kopi. Di Aceh, misalnya, pemilik kafe saling berlomba menciptakan pengalaman unik dengan nuansa retro, minimalis, atau ruang keluarga. Kini, kafe menjadi ruang gaya hidup yang lebih luas, bukan hanya untuk kongkow atau bersantai.
Di Banda Aceh, yang dikenal sebagai kota 1000 kedai kopi, kafe hadir sebagai perpanjangan ruang sosial. Di sana, orang bisa bekerja jarak jauh, mengadakan diskusi komunitas, atau bahkan sekadar berswafoto dan membuat konten media sosial. Dalam bentuk ini, musik menjadi elemen penting dalam membangun identitas kafe.
Kini, kafe dengan musik jazz yang memberi kesan elegan bukan lagi sesuatu yang asing. Ada juga kafe yang memutar musik pop santai, atau bahkan kafe indie yang memilih lagu-lagu eksperimental untuk membedakan diri dari arus utama. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan musik mencerminkan selera, tapi tidak selalu mutlak.
Dilema Royalti dan Strategi Baru
Masalah royalti dari lagu yang diputar di kafe menjadi dilema bagi pemilik kafe. Di satu sisi, mereka ingin memanjakan pengunjung dengan pengalaman yang menarik, namun di sisi lain harus memenuhi kewajiban membayar royalti.
Apakah kafe tanpa musik masih bisa menarik? Bagaimana cara pemilik kafe menghadapi aturan royalti yang semakin ketat? Pertanyaan ini menjadi pertimbangan serius.
Musik dianggap sebagai penggunaan komersial dalam ruang publik. Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 menegaskan bahwa pemilik kafe wajib membayar royalti kepada pencipta lagu atau pemegang hak melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Beberapa pemilik kafe memilih membayar royalti, sementara yang lain memilih menghentikan pemutaran musik sama sekali. Bagi sebagian, royalti dianggap sebagai investasi. Tarifnya berkisar antara Rp 60.000 per kursi per tahun untuk Royalti Pencipta dan Rp 60.000 per kursi per tahun untuk Royalti Hak Terkait, total Rp 120.000 per kursi per tahun.
Bagi kafe yang termasuk UMKM, tarif ini menjadi beban finansial yang berat. Mereka berharap adanya keringanan atau pembebasan pajak agar usaha kecil tetap bisa bertahan. Alasannya adalah khawatir royalti akan meningkatkan harga makanan dan minuman, terutama jika okupansi tidak selalu penuh.
Jika tidak membayar royalti, banyak kafe beralih ke alternatif seperti platform musik bebas royalti. Meskipun pilihan terbatas, musik netral bisa mengisi ruangan tanpa menimbulkan masalah hukum. Sementara yang lain memilih menggunakan live musik akustik atau musisi lokal sebagai promosi karya mereka.
Keheningan Sebagai Daya Tarik Baru
Meski begitu, ada juga kafe yang memilih konsep silent caf, seperti yang banyak ditemukan di Jepang dan Korea. Suasana hening dianggap bernilai, terutama bagi mereka yang membutuhkan ruang kerja serius. Konsep ini membutuhkan pembiasaan, namun bisa menjadi solusi untuk mengurangi beban royalti.
Sebagai pengunjung yang tidak terlalu bergantung pada musik, saya tidak merasa terbebani. Namun, musik di kafe bukan sekadar soal selera atau beban royalti. Ia mencerminkan gaya hidup modern, regulasi hukum, dan penghargaan terhadap karya seni.
Secangkir kopi tetap bisa dinikmati dengan atau tanpa musik. Yang terpenting, kafe harus tetap menjadi ruang nyaman bagi pengunjung, sekaligus memberi ruang bagi musisi yang karyanya ikut menghidupkan suasana.