Saat Musik Jadi Beban: Kafe di Jakarta Selatan Berhenti Putar Lagu Gara-Gara Royalti

Masalah Royalti Musik yang Mengancam Kafe di Jakarta

Musik yang seharusnya menciptakan suasana nyaman di kafe kini menjadi sumber kekhawatiran bagi sebagian pelaku usaha. Kewajiban membayar royalti lagu membuat beberapa kafe memutuskan untuk menghentikan pemutaran lagu-lagu Indonesia. Salah satu contohnya adalah sebuah kafe di Jalan Haji Nawi Raya, Kebayoran, Jakarta Selatan. Manajemen kafe tersebut mengganti playlist mereka dari lagu-lagu lokal menjadi musik instrumental, lagu-lagu berbahasa Inggris, atau bahkan suara-suara alam.

Keputusan ini bukan tanpa alasan. Pengelola kafe merasa khawatir dengan risiko hukum karena belum memahami secara utuh mekanisme pembayaran royalti yang saat ini sedang ramai dibicarakan. Dengan jumlah kursi yang mencapai puluhan, biaya royalti dirasa memberatkan bagi usaha skala kecil.

Perubahan Kebijakan Pemutaran Musik

Eca (23), manajer kafe di kawasan Kebayoran, mengambil kebijakan untuk menghentikan pemutaran lagu lokal. Ia mengatakan bahwa langkah ini diambil karena ketidakjelasan mekanisme pembayaran dan takut terjebak dalam masalah hukum. “Sementara ini enggak muter lagu lokal, saya takut dijebak. Jadi mending pasang lagu Inggris atau suara burung,” ujar Eca.

Pemilik usaha menyerahkan sepenuhnya keputusan tentang musik kepada Eca karena kurang memahami aturan yang berlaku. Ia kemudian mencari tahu soal peran Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), namun menilai sistemnya belum efisien. Dengan 36 kursi di kafe tempatnya bekerja, kewajiban royalti bisa mencapai lebih dari Rp 2 juta per tahun. Eca mengaku hanya mampu membayar sekitar Rp 500.000 per tahun, bahkan menyebut biaya langganan Spotify lebih murah.

Kekhawatiran Terhadap Sistem Royalti

Eca menyebutkan bahwa sistem royalti saat ini dinilai tidak transparan dan tidak efisien. Ia mengatakan bahwa LMKN bertujuan untuk melindungi hak para musisi, tetapi ia merasa lebih baik jika langsung membayar platform streaming seperti Spotify. “Kalau lewat platform, sudah pasti sampai ke artis. Kalau lembaga, belum tentu. Itu yang jadi kekhawatiran kami,” katanya.

Ia juga sempat berdiskusi dengan pelaku usaha lain di sektor F&B. Mayoritas menyuarakan bahwa mekanisme saat ini terlalu rumit untuk UMKM yang masih belajar. “Kalau bisa dibikin kayak Spotify for Business, kan jelas. Tinggal bayar paket bisnis, enggak usah takut-takut,” ujarnya.

Namun, hingga kini belum ada regulasi atau sistem yang mengakomodasi skema seperti itu di Indonesia. Eca berharap pemerintah segera membuka opsi baru yang lebih sederhana.

Dampak pada Pelanggan

Kebijakan untuk berhenti memutar musik Indonesia juga dirasakan langsung oleh pelanggan. Sizie (23), pengunjung yang sering bekerja dari kafe, mengaku suasana menjadi berbeda sejak musik lokal tak lagi diputar. “Kalau enggak ada musik, ambience-nya langsung hilang. Musik itu yang bikin suasana jadi hidup,” katanya.

Menurut Sizie, musik bukan hanya hiburan, tapi juga sumber inspirasi dan peningkat mood saat bekerja atau belajar. Bahkan, ia memilih kafe berdasarkan genre musik yang disuguhkan. “Setiap kafe punya karakter musik masing-masing. Kalau cocok, kita betah. Kalau sepi banget atau musiknya aneh, biasanya cari tempat lain,” ujarnya.

Ia juga menyebut sudah melihat perubahan di beberapa kafe yang biasa ia datangi. Kini kebanyakan hanya memutar lagu luar negeri atau instrumental. “Kadang suara burung juga. Tapi katanya itu juga kena royalti ya? Wah, berarti rekaman apa pun harus bayar ya?” ucap Sizie.

Penjelasan dari LMKN

Ketua LMKN Dharma Oratmangun menegaskan bahwa semua rekaman tetap memiliki hak cipta. Pemutaran suara burung juga membayar royalti. “Putar suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut, jadi tetap harus dibayar,” kata Dharma.

Dharma juga menekankan bahwa baik lagu lokal maupun luar negeri tetap dikenai royalti. Indonesia telah menjalin kerja sama internasional yang membuat kewajiban berlaku dua arah. “Harus bayar juga kalau pakai lagu luar negeri. Kita terikat perjanjian internasional,” tegasnya.

Ia menyayangkan narasi yang menyebut LMKN mempersulit usaha. Menurut dia, LMKN hanya menjalankan aturan hukum untuk melindungi hak para musisi. Pihaknya mendorong pelaku usaha yang keberatan untuk melakukan negosiasi formal.

Harapan Pelaku UMKM

Eca berharap ada mekanisme khusus atau keringanan untuk UMKM, misalnya klasifikasi usaha kecil atau sistem pembayaran langsung ke platform yang lebih praktis. “Saya enggak masalah bayar. Tapi tolong dikasih sistem yang jelas dan masuk akal. Jangan sampai kami dihukum karena bingung harus mulai dari mana,” kata Eca.

Barista kafe, Zahra (21), menilai musik adalah elemen penting dalam membangun suasana. Ia khawatir kafe akan kehilangan daya tarik jika tak lagi bisa menyuguhkan musik. “Kalau enggak ada musik, vibes-nya ilang. Pelanggan juga banyak yang minta lagu. Sayang banget kalau harus setop semuanya,” ucap Zahra.

Sebagai pekerja di sektor UMKM, ia mendukung hak musisi atas royalti, namun berharap regulasi bisa lebih adil dan realistis. “Yang penting hak musisi tetap jalan, tapi UMKM juga jangan sampai tumbang,” tuturnya.