kami, Jakarta – Muzahidin, pengusaha sound horegAsal Blitar, Jawa Timur, berharap agar pelaku usaha diajak untuk membicarakan peraturan terkait penyelenggaraan acara yang menggunakan sistem suara berdaya tinggi.“Sebelumnya kami tidak pernah diajak duduk bersama. Padahal, aturan ini dibuat untuk kepentingan bersama,” ujar pemilik Brewog Audio itu., Kamis, 31 Juli 2025.Paling tidak lakukan sosialisasi terlebih dahulu sebelum aturannya dikeluarkan.
Muzahidin khawatir peraturan yang dikeluarkan berpotensi mengurangi pendapatan dari aktivitas tersebut.sound horeg“Saya juga sudah memiliki usaha sejak 2019 dan tidak mengalami masalah apa pun. Baru kali ini viral dan tiba-tiba ingin dibuatkan aturan,” katanya.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur akan menerbitkan peraturan mengenai sound horeg. Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak menyebutkan empat hal yang akan diatur.
Pertama, pengaturan batas desibel sound horeg. Kedua, aturan mengenai ukuran kendaraan dan standar keselamatan. Ketiga, kegiatan seni pendukungsound horeg, seperti tari dan pawai. Keempat, jalur dan jalan yang dilalui kegiatansound horeg“Jadi, ada area merahnya, misalnya dilarang melewati fasilitas kesehatan. Aturan melalui jalan sempit atau jalan utama, dan sebagainya,” ujar Emil, Selasa 29 Juli 2025.
Perayaan Urek Urek Carnival yang didampingi peralatan audio berkapasitas besar di Desa Urek-urek Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada 12 Juli 2024. Provinsi Jawa Timur sedang menyusun regulasi terkait suara keras mengingat semakin meningkatnya keluhan akibat hiburan jalanan ini. Antara/Irfan Sumanjaya
Sound horegistilah yang menggambarkan hiburan berkeliling dengan menggunakan alat audio berkapasitas besar.Istilah sound horegterkenal di Jawa Timur. Kata horegberasal dari bahasa Jawa, yang artinya bergerak atau bergetar kuat, menggambarkan dampak suara yang dihasilkan.
Dek Bass di India
Sistem suara Dj di India, Juli 2024. Shutterstock
Fenomena hiburan rakyat serupa sound horeg juga terdapat di West Bengal, India.Seperti di Jawa Timur, perangkat audio ditempatkan di atas kendaraan dan diselenggarakan di tempat umum. Di India, hiburan ini menghasilkan sebuah genre musik yang dikenal sebagaidek bassyang sering dimainkan dalam berbagai perayaan dan acara kompetisi yang melibatkan pertandingan suara yang dikenal sebagaibox competitions, menurut situs web MixMag.
Nama Dek Bassmerujuk pada alat pemutar kaset (cassette deck) yang menjadi bagian krusial dan dari seluruh sistem suara pada masa itu. Selama beberapa dekade, para operator dan komunitas di Benggala Barat terus mengembangkan batas-batas teknologi audio dan inovasi, yang membuat fenomena ini berkembang.
Menurut Home Grown, fenomena ini sering dimanfaatkan dalam acara pernikahan dan rangkaian festival keagamaanGanpati Visarjan. Perangkat pengeras suara ini memiliki daya yang mampu bersaing dengan sistem suara di klub-klub besar. Para perancang sistem suara ini umumnya bekerja di bidang penata musik, termasuk di antaranya para DJ.
Tinjauan terhadap Kesehatan Pendengaran
Ilustrasi suara riang (Foto ANTARA)
Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur menyampaikan,sound horeg rentan menimbulkan masalah kesehatan pendengaran, khususnya tinitus, kesulitan tidur, stres, serta gangguan keseimbangan saraf. “Bukan hanyasound horeg, pada dasarnya semua kegiatan yang menggunakan pengeras suara dan melebihi batas kemampuan tubuh manusia berpotensi merusak kesehatan,” ujar Aris Setiawan, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Tulungagung, Kamis, 31 Juli.
Aris menyatakan, ambang batas suara yang aman bagi orang dewasa tidak boleh melebihi 80 desibel, sedangkan untuk anak-anak sekitar 70 desibel. Namun dalam kenyataannya, kegiatansound horegdapat menghasilkan suara hingga 130 desibel. Menurutnya,sound horegmemiliki risiko yang lebih besar dibandingkan pertunjukan musik biasa, karena kegiatan yang bergerak, sehingga orang-orang yang tidak menghadiri acara tersebut bisa terkena dampaknya. “Berbeda dengan konser yang tetap dan hanya didengar oleh penonton yang dekat,”sound horegjustru menargetkan permukiman, sehingga dampaknya lebih luas,” katanya.
Suara dan Kelas Sosial
Akademisi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Radius Setiyawan, melihatsound horegmempunyai nilai seni dan kemampuan kreatif sebagai bagian dari ekspresi budaya yang populer.Menurut Radius, tanpa adanya pendidikan, peraturan, dan kesadaran sosial, fenomena ini bisa berubah menjadi gangguhan daripada hiburan. “Bukan berartisound horegsangat negatif. Sebagai bentuk ekspresi budaya populer, ia tetap memiliki nilai artistik dan kemampuan kreatif,” ujar dosen yang menekuni bidang studi media dan budaya tersebut.
Perangkat audio dengan kapasitas besar di Sidoarjo, 15 Februari 2025. Shutterstock
Ia memahami salah satu keluhan utama masyarakat, karena tingkat kebisingansound horegyang melebihi batas kemampuan pendengaran.“Kondisi ini dianggap mengganggu ketertiban dan kenyamanan, khususnya di area padat penduduk, dekat tempat ibadah, atau saat malam hari,” ujarnya.
Jika dilihat dari sudut pandang sosiologis, suara keras sepertisound horeg juga merujukpembagian kelas sosial dan nilai-nilai budaya tertentu. “Musik keras ini dapat dilihat sebagai bentuk identitas sosial bagi kelompok tertentu. Sementara kelompok lain, terutama yang lebih tua atau konservatif, menganggapnya sebagai gangguan sosial,” ujarnya.
Radius memandang fenomena sound horegsebagai gambaran perubahan sosial dalam proses modernisasi dan globalisasi. “Pemuda yang mengadopsi”sound horegmungkin ingin menunjukkan identitas mereka yang lebih modern atau bahkan menentang aturan budaya tradisional,” katanya.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menganggap fenomenasound horegmemerlukan pertimbangan dan musyawarah bersama. Menurut Fadli, fenomenasound horegyang juga merupakan bentuk hiburan ini memerlukan keseimbangan dari berbagai aspek. “Tapi, tentu saya juga berpikir mempertimbangkan lokasi dan hal-hal lainnya. Saya rasa pasti ada titik keseimbangan, ada titik kompromi. Yang paling penting harus ada musyawarah,” ujar Fadli, Senin, 28 Juli, sebagaimana dikutipAntara.
Bram Setiawan, Hanaa Septiana, Putri Safira Pitalokamembantu dalam penulisan artikel ini